Sosiolog IPB University:Demo adalah Cermin Sosial,Jawaban Pemerintah MenentukanMasa Depan Indonesia

Sosiolog IPB University:Demo adalah Cermin Sosial,Jawaban Pemerintah MenentukanMasa Depan Indonesia

Logo Fema IPB

ARTIKEL FEMA 09/2025

Sosiolog IPB University:Demo adalah Cermin Sosial,Jawaban Pemerintah Menentukan Masa Depan Indonesia

Dr. Ivanovich Agusta,M.Si

-Departemen SKPM FEMA IPB-

[Deskripsi Gambar Utama]

*Ilustrasi Demo*

**BOGOR** – Gelombang demonstrasi yang terus bermunculan sepanjang Agustus hingga September 2025 dipandang sebagai sinyal kuat adanya jurang sosial-ekonomi yang semakin melebar di Indonesia. Hal itu ditegaskan oleh Dr Ivanovich Agusta, Sosiolog IPB University, yang menyebut demonstrasi sebagai “kejadian sosial” atau social event yang menjadi batu uji bagi relasi antara rakyat dengan negara.

“Demonstrasi adalah proses sosial yang disosiatif, lahir dari pertentangan antara pemerintahan dengan rakyat. Pemerintahan di sini bukan hanya eksekutif, tapi juga legislatif, bahkan cenderung mengelompok bersama dengan yudikatif. Pola ini sudah ditengarai Levitsky dan Ziblatt dalam kajian demokrasi yang rapuh,” ujarnya.

“Demonstrasi adalah proses sosial yang disosiatif, lahir dari pertentangan antara pemerintahan dengan rakyat. [Dr. Ivanovich],”

Menurut Dr Ivanovich, faktor dominan yang mendorong mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan adalah kesenjangan sosial-ekonomi yang kian lebar. Ia menyoroti ironi ketika Bank Dunia mengumumkan angka kemiskinan Indonesia sebesar 68 persen, sementara pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita sudah menembus USD 16.010 pada 2024.

“Ketika harta pejabat negara terbongkar ke publik, sementara rakyat hanya bisa hidup subsisten, maka demonstrasi menjadi pilihan rasional. Risiko kerugian bagi rakyat kecil pun hampir tidak ada, karena mereka memang sudah kehilangan banyak hal,” paparnya.

Ia menilai pemicu utama gelombang protes belakangan ini justru lahir dari ucapan dan tingkah laku pejabat. “Mulai dari kasus ucapan Bupati Pati pada 13 Agustus hingga tarian dan kesombongan pejabat lainnya, pola ini menunjukkan habitus kelas atas yang meremehkan kelas bawah,” katanya.

Dr Ivanovich mengingatkan bahwa demonstrasi masa kini berbeda dari yang terjadi pada 1998. Aksi-aksi sekarang tidak diarahkan ke mal atau kerusakan fisik massal, atau konflik etnis semata, melainkan lebih difokuskan kepada pejabat yang dianggap lalai atau menzalimi rakyat. Eskalasi kekerasan juga terjadi: masyarakat bereaksi terhadap tindakan aparat seperti gas air mata dan semprotan, dan respons balik kadang melibatkan barang seperti molotov.

Selain itu, ia mendorong pemerintah menghentikan kekerasan terhadap pendemo, memperbaiki tata kelola pemerintahan dengan meritokrasi dan transparansi, serta memberi afirmasi peluang usaha dan kerja bagi kelompok terpinggirkan. “Data dan ilmu pengetahuan harus menjadi basis kebijakan, bukan opini elite yang jauh dari realitas rakyat,” tambahnya.

Dr Ivanovich menilai Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Jika aspirasi rakyat dijawab dengan reformasi nyata, bangsa bisa menuju demokrasi yang transparan dan meritokratis. Namun, tegas dia, jika respons pemerintah tetap represif, arah sebaliknya justru akan menguatkan oligarki, KKN, dan negara tertutup yang dikendalikan segelintir elite.

“Respons eksekutif-legislatif-yudikatif akan selalu direspons balik oleh rakyat. Itu hukum sosial. Pilihannya sederhana, apakah bangsa ini mau memperbaiki diri secara lebih fair atau justru tenggelam dalam pusaran kekuasaan yang makin tertutup?” pungkasnya. (AS)

FEMA BERDEDIKASI

SUMBER :IPB Today No 132 Tahun 2025