Sabtu 20 November 2021 Prof. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc., Agr menyampaikan Orasi Ilmiah Guru Besar yang berjudul “Transformasi Sosial – Material Kawasan Pedesaan: Perspektif Ekologi Politik” dalam kegiatan Sidang Terbuka Institut Pertanian Bogor (IPB) secara daring.       

Sidang senat terbuka di buka oleh Pelaksana Harian Rektor IPB yakni Dr. Drajat Martianto dan dipimpin oleh Ketua Dewan Guru Besar IPB yakni Prof. Evy Damayanthi.

Dalam orasinya, Prof. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc., Agr menyampaikan bahwa LULUCF (land use, land-use change and forestry) adalah salah satu isu penting yang selalu dibahas para pemimpin dunia dalam pertemuan  COP (Conference of the Parties). Menurutnya konsep ini memberikan sumbangan besar dalam perubahan iklim dunia, utamanya terhadap emisi karbon, green-house gases di atmosfer serta kemampuannya mendorong perubahan ekosistem terrestrial kawasan. Meski begitu, penataan kelola kawasan dengan LULUCF tidak semudah yang dibayangkan karena selalu berbenturan dengan kebutuhan antar pemilik kepentingan.

Selanjutnya Prof. Arya menyampaikan bahwa aktifitas perekonomian moderen yang ditandai dengan pembukaan hutan menjadi kunci penting dalam perubahan stok karbon dan penyebab perubahan iklim bumi. Deforestasi dunia utamanya di daerah tropis mengalami peningkatan. Jutaan hektar hutan tropis telah bertransformasi menjadi peggunaan lain seperti perkebunan, pertambangan, hingga industri dan perumahan.

“Luas deforestasi dunia dan Indonesia menunjukkan angka yang tetap menjadi perhatian serius, hal ini dikarenakan luas konfersi lahan dan deforestasi diikuti oleh annual forest expansion yang belum memadai, terlebih bila dibandingkan dengan kecepatan ekspansi kawasan perkebunan seperti kelapa sawit yang meniscayakan perubahan struktur sebuha kawasan atau sebuah lanskap” ujar Prof. Arya

Perubahan landskap kawasan mengakibatkan perubahan sosial ekonomi dan sistem penghidupan, perubahan ekologis dan munculnya dampak lingkungan, serta perubahan tatanan penggunaan sumberdaya lain. Akibatnya ragam kepentingan saling berkontestasi untuk mendapatkan ruang hidup. Perubahan kawasan merepresentasikan dinamika pertarungan kuasa antara ekonomi dan ekologi. Perubahan kawasan dan degradasi lahan tidak sesederhana kesalahan manajemen atau tekanan penduduk, melainkan karena adanya dominasi dan pertarungan kekuasaan.

“Kajian kami di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa perubahan kawasan yang didorong oleh perluasan perkebunan sawit berlangsung signifikan, ditandai oleh berkurangnya luas kawasan berhutan (forested area),” ujar Prof. Arya

Akibatnya munculnya isu-isu yang menyertai proses transformasi kelapa sawit, yakni isu sosial seperti konflik agraria dan tumpang tindih klaim lahan, isu lingkungan hidup seperti kerusakan hutan dan kelestarian hewan liar, serta isu tata kelola lingkungan.

Prof. Arya mengatakan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit menjadi faktor pendorong transformasi struktur nafkah di pedesaan. Hal ini tampak dari keragaman sumberya, dari ketergantungan yang tinggi terhadap hutan sebagai sumber pendapatan menjadi sumber pendapatan baru berbasis uang tunai. Selain itu, trasnformasi kelapa sawit juga mengakibatkan perubahan relasi gender, yakni hilangnya sumber kekuasaan dan otonomi perempuan pada sumberdaya serta bertambahnya beban kerja perempuan di pedesaan.

Beliau juga menambahkan bahwa ekspansi kelapa sawit juga menghadirkan masalah tumpang tindih perkebunan kepala sawit, misalkan ditemukannya kebun kelapa sawit di kawasan hutan. Hal ini semakin memperdalam konflik antara ekonomi versus ekologi di Indonesia. Menanggapi hal ini, pemerintah meluncurkan sejumlah regulasi untuk menekan resiko sosial ekologi, misalkan Inpres 8/2018, Inpres 5/2019, ISPO atau yang lainnya.

“Sekalipun demikian, implementasi ISPO tetap menghadapi sejumlah persoalan. Terutama terkait tidak sederhananya tantangan yang dihadapi oleh multi-level governance system dari arah pusat, provinsi, kabupaten hingga desa,” tuturnya.

Menurut beliau, mengubah image perkebunan sawit yang berkelanjutan di mata internasional akan susah apabila pemerintah tidak lekas mengatasi tantangan yang ada.

Prof. Arya menyarankan untuk disiplin mengimplementasikan tatakelola kawasan dan lahan serta melakukan penguatan kelembagaan. Melakukan reposisi etika perilaku ekonomi agar pertarungan ekonomi vs ekologi dapat mereda di masa depan.